Nama Allah dalam kitab Bible Indonesia

Versi AlKitab yang digunakan oleh orang Kristen Indonesia, salah dalam cara menggunakan nama Allah. Perkataan Allah dalam Al kitab digunakan sebagai kata umum (common Noun) dan perkataan “Tuhan” digunakan sebagai kata Khas (proper noun). Sebaliknya, dalam Al Quran, perkataan Allah digunakan sebagai kata khas, dan perkataan “Tuhan” atau ilah digunakan sebagai kata umum. Bagaimana argumentasi ini dihuraikan.


Argumentasi ini dapat dihuraikan dengan memperhatikan penggunaan perkataan Allah dalam Al Quran dan Alkitab serta perbedaan konsep yang terkandung di dalamnya.


Dalam bahasa Arab, perkataan Allah adalah kata khas yang merujuk secara eksklusif kepada Tuhan yang satu dalam agama Islam. Ini secara konsisten digunakan dalam Al Quran untuk merujuk kepada Tuhan yang disembah dan diakui oleh umat Muslim.


Di sisi lain, dalam bahasa Indonesia, perkataan Allah digunakan sebagai kata umum dalam Alkitab versi Indonesia yang digunakan oleh orang Kristen Indonesia. Dalam konteks ini, penggunaan perkataan الله tidak merujuk secara eksklusif kepada Tuhan dalam agama Kristen atau kepada Tuhan yang disembah dalam agama Islam, melainkan lebih bersifat umum dan bisa merujuk kepada berbagai jenis dewa atau penguasa roh.


Dalam Alkitab versi Indonesia, kata "Tuhan" digunakan sebagai kata khas yang merujuk secara eksklusif kepada Tuhan yang disembah dalam agama Kristen.


Dengan demikian, pembahasan tersebut menyatakan bahwa penggunaan perkataan Allah sebagai kata umum dalam Alkitab versi Indonesia oleh orang Kristen Indonesia dianggap salah karena tidak sesuai dengan penggunaan perkataan Allah sebagai kata khas dalam Al Quran yang merujuk secara eksklusif kepada Tuhan yang disembah dalam agama Islam.


Dalam bahasa Arab, perkataan Allah merujuk kepada Tuhan yang Maha Esa dalam agama Islam. Ia merupakan nama khas bagi Tuhan dalam agama Islam dan tidak boleh digunakan untuk merujuk kepada mana-mana entiti lain kecuali Allah.

The word “ilah” (إِلٰه) in Arabic means “god” (with a small “g”) or a deity, and it is a common noun. It refers to any being or entity that is worshipped as divine, regardless of whether that worship is true or false.


Arabic Form:

• إِلٰه – ilah

• Root: أ ل ه (ʾ-l-h)

• Plural: آلِهَة (ālihah) – “gods”



Example in the Qur’an:

• لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ

Lā ilāha illā Allāh

“There is no god (ilah) but Allah.”


This expression clearly shows the distinction:

• “ilāh” is used as a general term for any supposed deity.

• “Allāh” is the proper name of the One True God in Islam.

Mengapa Alkitab Shellabear Menggunakan Kata “Allah” Secara Lebih Tepat dalam Bahasa Indonesia

Dalam membandingkan berbagai terjemahan Alkitab berbahasa Indonesia, sering kali muncul diskusi mengenai penggunaan istilah yang paling sesuai untuk menggambarkan konsep ketuhanan yang agung dan Esa dalam konteks bahasa dan budaya Indonesia. Salah satu contoh penting dapat ditemukan dalam kitab Yesaya 45:21, yang dalam tiga versi Alkitab (Bible) berbahasa Indonesia disampaikan dengan redaksi yang berbeda, khususnya dalam penggunaan istilah untuk menyebut Allah dan Tuhan.

1. Terjemahan Baru (1974):

“Bukankah Aku, TUHAN? Tidak ada yang lain, tidak ada Allah selain daripada-Ku!”

2. Alkitab Yang Terbuka (2023):

“Bukankah Aku, TUHAN? Tidak ada Allah lain selain Aku.”

3. Shellabear (2010):

“Bukankah Aku, ALLAH? Tidak ada tuhan lain selain Aku.”


Perbedaan Penggunaan Istilah: TUHAN vs ALLAH


Perbedaan mencolok dari ketiga versi di atas terletak pada pemilihan istilah “TUHAN” dan “Allah” dalam merujuk kepada Tuhan yang Esa:


Terjemahan Baru dan Alkitab Yang Terbuka menggunakan bentuk “TUHAN” (dengan huruf kapital semua) sebagai padanan untuk YHWH (Tetragrammaton), dan “Allah” sebagai istilah umum atau kategori ilah (elohim dalam Ibrani).

Shellabear, sebaliknya, langsung menggunakan kata “ALLAH” untuk menyebut pribadi Tuhan yang satu, dan “tuhan” (ilah) sebagai istilah umum untuk ilah atau tuhan lain. Ini secara linguistik dan teologis lebih selaras dengan struktur bahasa Indonesia dan juga dengan konteks keesaan Tuhan sebagaimana diajarkan dalam agama-agama monoteistik seperti Islam dan Yahudi.


Mengapa Shellabear Lebih Tepat?


1. Dalam Bahasa Indonesia, penting untuk membedakan secara jelas antara kata nama khas dan kata umum


Dalam bahasa Indonesia, kata “Allah” secara umum dipahami sebagai kata khas (proper noun) yang merujuk kepada Tuhan yang Maha Esa. Menggunakan “TUHAN” sebagai padanan untuk nama Tuhan justru menimbulkan ambiguitas, karena kata “tuhan” (atau ilah) sendiri adalah istilah umum (common noun), dan perubahan ke huruf kapital tidak secara otomatis menjadikannya kata nama khas secara semantik.


2. Konsistensi dengan Konsep Ketauhidan


Dalam kitab Yesaya 45:21, versi Terjemahan Baru dan Alkitab Yang Terbuka menekankan bahwa tidak ada Allah lain selain Aku (Tuhan). Dalam versi Shellabear, makna ini disampaikan dengan sangat jelas:


“Bukankah Aku, ALLAH? Tidak ada tuhan lain selain Aku.”

Di sini, “ALLAH” sebagai kata khas berdiri kontras dengan “tuhan” (ilah) sebagai kata umum. Ini mencerminkan prinsip tauhid—keesaan Tuhan—yang juga menjadi inti dalam ajaran Yesaya.


3. Kesetiaan terhadap Audiens Muslim-Melayu


Versi Shellabear awalnya dikembangkan untuk pembaca Muslim Melayu. Oleh karena itu, ia menggunakan pendekatan linguistik yang akrab dan alami bagi penutur bahasa Melayu/Indonesia, di mana “Allah” sudah menjadi istilah teologis baku untuk menyebut Tuhan yang satu. Ini menjadikan pembacaan dan pemahaman teks suci lebih mudah diakses dan tidak membingungkan secara istilah.


4. Pemilahan yang Tepat antara Nama dan Gelar


Dalam bahasa asli (Ibrani), perbedaan antara YHWH (nama Tuhan) dan elohim (gelar atau kategori) sangat penting. Shellabear berhasil menyampaikan semangat perbedaan ini dalam bahasa Indonesia: “Allah” sebagai nama, “tuhan” sebagai gelar umum. Versi-versi lain, dengan menjadikan “TUHAN” sebagai padanan untuk YHWH, mengaburkan pembedaan ini.


Kesimpulan


Versi Shellabear dari Yesaya 45:21 menunjukkan ketepatan yang lebih tinggi dalam menerjemahkan makna teks asli ke dalam bahasa Indonesia. Dengan menggunakan “Allah” sebagai kata khas yang merujuk kepada Tuhan yang satu, dan “tuhan” (ilah) sebagai istilah umum, Shellabear menghindari kebingungan istilah dan lebih setia pada makna asli serta struktur linguistik bahasa Indonesia. Karena itu, dalam konteks bahasa dan teologi, versi Shellabear patut dianggap sebagai rujukan yang lebih tepat untuk menerjemahkan konsep ketuhanan dalam Alkitab ke dalam bahasa Indonesia.


Alkitab Shellabear adalah terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Melayu (kemudian disesuaikan menjadi bahasa Indonesia) yang dikerjakan oleh Dr. William G. Shellabear, seorang misionaris dan sarjana bahasa asal Inggris. Ia aktif dalam pelayanan di Nusantara pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Penggunaan Nama “Allah” dalam Kalangan Yahudi Yaman: Suatu Perspektif Linguistik dan Teologi

Nama “Allah” sering kali dikaitkan secara langsung dengan agama Islam. Namun begitu, penggunaannya dalam kalangan masyarakat berbahasa Arab—termasuk Yahudi dan Kristian—telah wujud sebelum kemunculan Islam, dan membawa makna yang lebih luas dari sudut sejarah dan linguistik. Dalam kalangan Yahudi Yaman khususnya, istilah “Allah” telah lama diterima pakai untuk merujuk kepada Tuhan Yang Maha Esa—Tuhan Nabi Ibrahim, Nabi Ishak, dan Nabi Yaakub. Penggunaan ini bukan tanda penerimaan terhadap ajaran Islam, tetapi merupakan amalan linguistik yang berakar dalam tradisi bahasa Semitik.


Keperluan Linguistik: “Allah” Sebagai Perkataan Arab untuk Tuhan


Bagi Yahudi Yaman yang hidup dalam persekitaran berbahasa Arab, penggunaan perkataan “Allah” adalah keperluan semula jadi. Sepertimana penutur bahasa Inggeris menggunakan “God”, dan penutur bahasa Ibrani menggunakan istilah seperti “El,” “Elohim,” atau “Adonai”, maka penutur Arab—termasuk Yahudi Yaman—menggunakan “Allah” dalam komunikasi harian dan juga dalam konteks keagamaan. Ia merupakan kata nama khas dalam bahasa Arab yang merujuk kepada Tuhan Yang Satu, tanpa membawa konotasi akidah Islam.


Penggunaan Sejarah “Allah” Sebelum Islam


Istilah “Allah” telah digunakan jauh sebelum kemunculan Islam pada abad ke-7 Masihi. Di Tanah Arab sebelum Islam, masyarakat Yahudi dan Kristian sudah menggunakan istilah “Allah” untuk merujuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini dibuktikan melalui teks klasik seperti karya tafsir dan terjemahan Alkitab dalam bahasa Arab-Yahudi oleh tokoh Yahudi terkenal, Saadia Gaon, pada abad ke-10. Dalam terjemahan Taurat yang disediakan untuk komuniti Yahudi berbahasa Arab, beliau menggunakan “Allah” secara konsisten sebagai terjemahan bagi nama-nama Tuhan dalam bahasa Ibrani.


Konsep Ketuhanan yang Sama


Bagi Yahudi Yaman, penggunaan istilah “Allah” tidak bermaksud mereka menerima atau mengikut ajaran teologi Islam. Sebaliknya, ia merupakan ekspresi kepercayaan mereka kepada Tuhan yang sama dalam agama Yahudi—iaitu Tuhan Nabi Ibrahim, Nabi Ishak, dan Nabi Yaakub. Istilah ini menjadi saluran linguistik bagi menyatakan doa, ibadah, dan pengabdian kepada Tuhan dalam kerangka kepercayaan Yahudi. Mereka melihat “Allah” sebagai bersamaan maksudnya dengan “El” atau “Elohim” dalam bahasa Ibrani, dan bukan sebagai tuhan yang berbeza.


Ekspresi Budaya vs. Ungkapan Keagamaan


Walaupun Yahudi Yaman menggunakan “Allah” sebagai nama Tuhan, mereka lazimnya tidak menggunakan frasa keagamaan yang khas bagi umat Islam seperti Allahu Akbar (“Allah Maha Besar”) yang digunakan secara khusus dalam ibadah Islam. Namun begitu, ungkapan Arab yang bersifat umum seperti Inshallah (“jika Allah menghendaki”) atau Mashallah (“Allah telah mentakdirkannya”) mungkin digunakan dalam konteks budaya tanpa membawa makna teologi yang khusus seperti dalam Islam.


Akar Linguistik dalam Tradisi Semitik


Perkataan “Allah” mempunyai hubungan linguistik yang erat dengan istilah-istilah dalam bahasa Semitik lain. Ia berkait rapat dengan istilah Ibrani “El” dan “Elohim”, serta istilah Aram “Elaha”. Semua perkataan ini berasal daripada akar kata Semitik ʾAlef, Lamed, Heh yang bermaksud “tuhan” atau “ilah.” Oleh itu, penggunaan “Allah” dalam kalangan Yahudi Yaman merupakan sebahagian daripada kesinambungan linguistik dalam kalangan bangsa Semitik yang menganut ajaran tauhid.


Kesimpulan


Penggunaan istilah “Allah” oleh Yahudi Yaman adalah bukti kepada warisan linguistik dan keagamaan yang dikongsi bersama oleh bangsa-bangsa Semitik di Timur Tengah. Ia bukan satu bentuk pengaruh kepercayaan Islam, tetapi amalan bahasa yang diwarisi sejak sekian lama dalam budaya dan kepercayaan Yahudi. Bagi mereka, “Allah” ialah nama bagi Tuhan Yang Maha Esa—nama yang diungkap dalam doa, pembelajaran, dan kehidupan seharian, sebagai tanda hubungan yang berterusan dengan Tuhan nenek moyang mereka.

Mengapa penulis Perjanjian Baru tidak menggunakan 'Yahweh' untuk 'יהוה' seperti penerjemah modern?

Mengapa para penulis Perjanjian Baru, termasuk Paulus, tidak mentransliterasikan nama ilahi “יהוה” menjadi “Yahweh” seperti yang dilakukan beberapa penerjemah modern?


Para penulis Perjanjian Baru, termasuk Paulus, menulis dalam bahasa Yunani dan mengikuti tradisi Septuaginta, yaitu terjemahan Yunani dari Alkitab Ibrani.


Dalam Septuaginta, nama ilahi “יהוה” secara konsisten diterjemahkan sebagai “κύριος,” yang berarti “Tuhan” dalam bahasa Yunani, daripada ditransliterasikan ke dalam pengucapan tertentu seperti “Yahweh.”


Tradisi ini dilanjutkan oleh para penulis Perjanjian Baru, yang mengikuti cara penerjemahan nama ilahi sebagaimana terdapat dalam Septuaginta.


Selain itu, rasa hormat terhadap nama ilahi dalam tradisi Yahudi kuno mungkin juga berperan dalam keputusan ini.


Transliterasi modern “Yahweh” adalah upaya untuk mendekati pengucapan asli dari nama Ibrani tersebut, tetapi sebenarnya tidak ada kepastian tentang bagaimana nama itu diucapkan pada zaman kuno.


Keputusan untuk tidak menggunakan “Yahweh” dalam Perjanjian Baru juga dapat mencerminkan konteks bahasa dan budaya para penulisnya, yang menulis dalam bahasa Yunani serta menyampaikan pesan mereka kepada audiens Yahudi dan non-Yahudi.


Rabbi Yahudi umumnya tidak mendukung transliterasi nama ilahi “יהוה” menjadi “Yahweh” karena:


1. Kesucian Nama Tuhan – Dalam tradisi Yahudi, nama ini tidak boleh diucapkan, diganti dengan “Adonai” atau “HaShem”.

2. Pengucapan Asli Tidak Diketahui – Banyak rabbi percaya bahwa cara melafalkan nama ini telah hilang sejak zaman Bait Suci Kedua.

3. Bukan Bagian dari Tradisi Yahudi – Penggunaan “Yahweh” dianggap berasal dari tradisi Kristen dan bukan dari ajaran Yahudi.

4. Beberapa Rabbi Netral – Ada yang memahami perbedaan praktik Kristen, tetapi rabbi yang lebih konservatif melihatnya sebagai pelanggaran terhadap kesucian nama Tuhan.


Kesimpulannya, rabbi Yahudi menolak atau tidak mendukung penggunaan “Yahweh” karena bertentangan dengan tradisi Yahudi dalam menghormati nama Tuhan.

Lihat Kandungan